Jelajah Pulau Samosir Part 2
Roda kreta kami mulai pacu kembali
gerbang besar yang tadi menyambut mulai terlihat mendekat hingga tak
terlihat seolah meninggalkan kami. Jalanan sepi memacu kami lebih kencang
menarik gas suara gemuruh anginpun bertambah riuh. Kami sampai disebuah jalan yang
memperlihatkan lembah perbukitan yang indah membuatku tergoda untuk
menghentikan laju kreta. Jalanan ini begitu sepi kami duduk di pinggiran
aspal sambil melakukakan hal mainstream berphoto narsis ria..... , terlihat
dari kejauhan beberapa anak muda lokal disebuah rumah tunggal memandangi dengan sorotan tajam dan sekali melintas dengan memacu kretanya kencang apakah
ini sebuah isyarat ketidak sukaan atau hanya penasaran dengan apa yang kami
lakukan, kami hanya mengacuhkan dengan tetap memandangi perbukitan indah dari kiri
jalan, sungguh dalam hati terkadangku masih tidak percaya di mana sekarangku
berada.
Perjalananpun kami lanjutkan di tanah
Samosir yang konon katanya tanah orang Batak diturunkan dari surga, disetiap
perjalanan suguhan alam danau Toba tak pernah lepas dari tatapan mata,
aktivitas masyarakat lokal yang kaya akan tradisi, bangunan tinggi berhiaskan
salib sering terlihat di sana sini terkadang nampak aktivitas mereka dengan baju
adat dalam acara gereja, mayoritas orang Batak Toba adalah beragama nasrani,
tak jarang ketika di Siantar aku suka memandangi
mereka dengan mengenakan baju seperti kebaya untuk ibu-ibu, para remaja
memakai gaun dengan hak tinggi dan berjaskan klimis rapi untuk bapak-bapak yang
seperti terlihat sebuah wibawa yang tersembunyi.
Tampak sebuah pulau kecil yang memperlihatkan
sebuah villa di dalamnya katanya itu adalah pulau pribadi, ku hanya tersenyum
kecut mendengar hal itu. Di Samosirlah aku jumpai orang-orang masih menggunakan
rumah adat bolon sebagai tempat
tinggal, selain di Samosir arsitektur rumah bolon banyak kita jumpai di kota Balige di kabupaten Tobasa lengkap dengan ornamen khas Batak Toba.
Yang paling mengasyikkan jalanan di Samosir
begitu lenggang dengan suasana yang asri menampilkan pemandangan alam dibalut kehidupan warga setempat yang kental akan budaya khas Batak.
Sebuah bangunan seperti menara yang
juga mirip seperti candi yang tersusun dari bata merah menarik perhatianku yang
terletak di daerah Ambarita yang langsung mengingatkanku dengan seorang
kawan di Siantar yang bermarga Ambarita, dan ayahnya memang orang asli Samosir
yang berasal dari daerah ini.
Sebuah papan hijau penanda jalan
bertuliskan PANTAI PASIR PUTIH yang membuatku penasaran seperti apa pantai
itu kamipun semakin memacu kreta membuat hembusan angin bertambah kuat menerpaku begitu saja, tak jarang sekali-kali berpapasan dengan beberapa bule yang juga mengendarai
kreta tanpa helm dan selalu mengenakan kacamata hitam. Perjalanan kembali terhenti, sebuah papan anak panah
menunjukkan pantai pasir putih, “gimana Fik kita berhenti?” tanyaku
padanya, “kita cari penginapan dululah mas pening kali kepalaku”, “oh gitu
ya Fik baiklah kalau gitu kita kemarinya besok aja yaa!!”.
Sebuah gapura menyambut kami jalan
aspal yang berlubang menganga memenuhi jalan genangan air coklat pekat membuat
badan terhuyun-huyun sambil berlenggak lenggok menghindari lubang di jalan yang
licin berselimut lumpur tipis. Kota ini begitu sepi saya benar-benar dibuat
keheranan inilah kota Panguluran kota Kab. Samosir pusat perekonomian
berlangsung. Kami berputar – putar berharap untuk menemukan segera penginapan
mengingat hari sudah sore, yang kami lihat hanya ada toko yang tutup dan
sedikit yang masih buka itupun sepi tiada pembeli. Terlihat sebuah masjid kecil
yang menarik perhatianku, ku rasa ini satu-satu masjid yang ada di kota
panguluran di tepi sisi jalan lainnya langsung perbatasan dengan danau Toba
yang menyempit lebih terlihat seperti sungai dari pada danau, di sini merupakan bagian tersempit dari danau Toba, terdapat jembatan yang menghubungkan langsung pulau Samosir dengan
pulau Sumatera.
Beberapa anak kecil terlihat sedang
memancing ikan ku coba menghampirinya dan menanyakan dimana penginapan
di sekitar sini, seorang anak kecil menjawab pertanyaanku dengan bahasa batak
yang ku tanggapi hanya dengan menggelengkan kepala dan senyum linglung tanda
tiada paham sedikitpun apa yang anak ini ucapkan, seorang anak yang lebih
tinggi menghampiriku dan menjawabnya dengan bahasa Indonesia dengan aksen yang
sangat kuat kedaerahannya membuat sulit di mengerti, “abang dari mana? dari
Medan!!” tanya anak ini padaku, “gak kami dari siantar taukan siantar” jawabku
padanya, ia hanya diam menatapku polos.
Kami akhirnya menyuruh Simadan untuk
bertanya kepada warga setempat yang kami jumpai karena ia bisa bahasa batak
untuk menanyakan penginapan paling dekat dari sini.
Mereka menunjuk sebuah jembatan lewat
sana dan ikuti petunjuk jalan nanti ada penginapan. Waktu semakin sore jalanan
berkelok-kelok ini benar-benar sepi tiada orang melintas membuatku ragu apakah
ini jalan yang benar, tak berapa lama mulai terlihat pondokan dari balik bukit.
Perjalanan kami berhenti disebuah
penginapan yang terlertak di kaki bukit yang terlihat sepi seperti tiada
pengunjung, dalam hatiku ku tidak terlalu menyukai tempat ini, ini terlihat begitu
sepi dan terpencil walaupun dari tempat ini sebenarnya juga langsung menghadap
danau Toba, hanya berjarakkan oleh seberang jalan.
Di tempat ini sebenarnya terdapat tiga
penginapan yang terletak menanjak ke atas bukit yang bila diamati bukit
di sekitar sini berwarna keputihan akibat belerang gunung berapi. Kami mencoba
menuju penginapan paling atas berada di pertengahan bukit dan mencoba menanyakan
harga penginapan. Hanya terdapat tiga kamar di sini dan dua kamar dengan tv
bertarif 150rb permalam dan tanpa tv bertarif 100rb permalam, hal ini lah
yang membuatku terpaksa kembali ke bawah untuk mencari penginapan yang lainnya.
Harga kamar di bawah juga 100rb
permalam, seorang wanita menunjukkan kamarnya
padaku menaiki sebuah tangga kayu sempit menuju lantai dua berlantaikan
kayu dan papan yang setiap melangkahkan kaki terdengar dencit kayu yang berpadu
hentakan bunyi khas kaki di atas kayu. Kamar ini begitu buruk kamarnya hanya
bersekat triplek tipis sengat jauh berbeda saat kami berada di Tuktuk.
Setidaknyaku bisa bermalam dengan tenang di sini. Ku mengambil beberapa
pakaian untuk berendam air panas yang disediakan penginapan, terlihat beberapa mobil mulai berdatangan
ke sini dan semakin ramai. Kolam air panasnya tidak terlihat terawat kamar mandinya rusak membuatku bingung dimana mau berganti pakaian.
Saatku mulai masuk ke kolam air panas mataku dibuat risih seorang
bapak-bapak berjalan santai tanpa mengenakan apapun, walaupun di sini hanya ada laki-laki
tapi bagiku ini benar-benar terlihat aneh dan tidak nyaman. Menurutku air kolam masih terlalu panas membuatku hanya duduk di pinggiran kolam sambil mengguyurkan air
dengan tangan walaupun begitu ada beberapa orang yang berenang seolah berenang
di kolam biasa dengan kulit yang mulai terlihat kemerahan. Semakin larut udaranya semakin dingin membuat kolam air panas semakin ramai dengan para pengunjung hendak bermandikan air belerang yang terus memancar dari mata air.
Malam ini kami habiskan untuk mengobrol
berbagai hal sambil menikmati mie gelas hangat dan sisa telur puyuh tadi siang.
Hinggaku kembali kemarku yang selalu berdencit nyaring di setiap kaki
melangkah. Sendiri begitu sepi tiada seorangpun untuk di ajak berkomunikasi dan
menghabiskan malam ini meringkuh di dalam selimut hingga akhirnya terlelap tiada
sadar hingga pagi menjelang.
Dengan malasku terbangun mencari-cari
handuk dan pelengkapan mandi di dalam ransel kecilku begitu membuka pintu hari
sudah begitu cerah ku bergegas mencari kamar mandi yang berada di lantai bawah.
Kamar mandi sederhana yang berada di dekat dapur ini tercium bau yang asing
bagiku, pikirankupun sudah menduga kemana-mana jangan-jangan atau ah lebih baik
aku segera bergegas dan segera pergi dari sini.
Saat menyalakan mesin kreta si
Thaufik terlihat meluncur kebawah dengan kreta maticnya, akupun segera
tancap gas mengimbanginya, kreta kami berdua melaju mulus di jalan beraspal
yang juga mulus disuguhi pemandangan danau Toba di pagi hari yang benar-benar asri.
Jalan berkelok-kelok dengan ligat kami telusuri, pantulan sinar mentari
menghiasi permukaan danau terlihat begitu menyilaukan udara dingin pagi sedikit
terobati oleh hangatnya mentari yang mulai meninggi hingga perjalanan kami terhenti. Terlihat beberapa rumah adat batak toba nampak sepi hanya ada
beberapa ekor anak babi berlari-lari di kolong rumah ini, menjadikanku enggan
untuk mendekati, stigma tentang babi memang begitu kuat dalam diri kami sebagai
umat muslim. Rumah ini bercatkan warna merah dan hanya menunjukkan warna natural
kayu yang terlihat alami.
Rumah adat berada di simpang tiga yang di samping jalan terdapat tulisan PANTAI PASIR PUTIH inilah alasan kami
berhenti, tempat yang semalam sore kami ingin kunjungi (orang Sumut biasa
mengatakan kemarin dengan kata semalam dan untuk kata kemarin itu
berartikan dua hari yang lalu). Sebuah palang menghentikan kami seorang membawa sekepok tiket tampak bingung melihatku aku hanya menanyakan “berapa harga
tiketnya bang?”, tiga ribu bang.“ah longor kali kau mas
ngapain kau bayar!!, ku hanya bertanya-tanya apalah sikawanni heranku dalam hati,
“kau ini dikira orang sini mas tengoklah mas pakaian kau itu udah macam orang
sini”sambil cekikian si Thaufik mengatakannya kepadaku.
Suara debur
ombak terdengar begitu nyaring tak kusangka danau Toba memiliki gelombang air
seperti air laut walau frekuensi gelombangnya lebih rendah dan pasir putih yang terhampar sepanjang pantai. Pemandangan di sini sangat indah gunung-gunung dan bukit yang mengelilingi
danau nampak begitu jelas dipadu langit biru danau Toba yang nampak kehijauan di
tambah riuhnya orang berenang dan bermain banana boat tempat itu begitu
ramai akan pengunjung. Air yang terlihat jernih membuatku tak tahan untuk segera
mencoba berenang, si Thaufik menyuruhku untuk duluan berenang dengan segera ku
mencari tempat untuk berganti pakaian. Dengan hanya mengenakan celana boxer
biru ku berlari dan menceburkan diri ke danau, ini pertama kalinya ku merasakan
berenang di danau Toba dan mengakhiri puasaku yang sudah lama kali tidak berenang.
Tempat ini tidak terlalu dalam dasarnya begitu landai sejauh aku
berenang aku masih bisa menyentuh dasarnya dengan kedua kakiku tapi airnya
sedikit berbau amis mungkin akibat banyaknya kerambah ikan di danau dan ku
juga baru tahu dari koran lokal di Siantar bahwa para mahasiswa demo akibat
sebuah perusahaan peternakan yang dengan seenaknya membuang limbah
peternakannya ke danau Toba memang miris kedengarannya. Terlihat beberapa eceng
gondok terapung-apung langsung mengingatkan ku begitu banyaknya eceng godok di
danau Toba mengindikasikan air yang sudah mulai tercemar, di kemudian hari ku
berkenalan dengan seorang dari salah satu perusahaan ikan dan melihat beberapa
file photo yang menunjukkan para relawan yang membersihkan eceng gondok di
sekitar danau Toba, dari photo tersebut ada yang menarik seorang wanita bule
yang dulu pernah ke kantor tempatku bekerja yang beberapa bulan kemudian aku
melihatnya di acara kick andy dia sebagai orang asing yang jatuh cinta dengan
pesona danau Toba dan menjadi aktivis lingkungan di sana.
Terdengar
teriakan para wanita yang terjatuh saat bermain banana boat beberapa terlihat
merengek seperti orang menangis minta segera ditarik keatas perahu oleh para
joki walaupun sebenarnya mereka juga mengenakan pelampung. Beberapa orang
juga asik mengapung-apung dengan ban bekas ataupun berkeliling dengan
perahu kayuh yang terlihat warna-warni.
Sepuas
berenang kami memutuskan untuk segera kembali karena si Madan harus segera
kembali ke Medan. Kami kembali menelusuri jalan yang telah kami lalui semalam, ini adalah hari minggu banyak
orang yang pergi ke gereja, di depan gereja nampak penuh dengan kendaraan
terkadang terdengar samar suara nyanyian di dalamnya. Dari kami bertiga si Madanlah yang beragama kristen dia tidak nampak resah walau ini hari untuk
pergi ke greja.
Di ujung jalan
mulai terlihat keramaian disertai warna-warni pernak-pernik cinderamata dan
pakaian penanda kami sampai di Tomok tempat di mana pelabuhan penyeberangan kembali
ke kota Parapat. Tomok merupkan tempat destinasi wisata yang terkenal di pulau
Samosir, “fik kita lihat-lihat dulu di
tomok ya fik” mintaku padanya, “ok
mas gak usah kuatirnya kau mas, kamikan cuman mau memuaskan dirimu ajanya di sini”
jawab si Thaufik meyakinkan, “ah kau
fik” timpalku balik dengam senyum yang semringih.
Kiri
kanan jalan banyak dipenuhi lapak-lapak cinderamata, segera kami mencari tempat
parkir yang juga sudah dipenuhi oleh kreta yang tidak tertata rapi. Jalan
tangga di seberang jalan penuh akan orang yang berlalu lalang satu demi satu
kaki ini mulai menapakinya mengikuti alur tangga sesampai di atas tampak ramai
banyak batu-batu dan juga ukiran patung dari batu yang entah aku sendiri tidak
mengerti apa fungsinya dan maknanya.
Kami
mencari tempat duduk yang beralaskan batu besar dan mengeluarkan sebungkus roti
ukuran besar yang kita bagi bertiga. Didekat kami berjajar rumah bolon di salah
satu rumah terdapat patung sigale-gale yang menggunakan baju hitam dan bahunya
berselempangkan ulos dan juga sebuah penutup kepala seperti kain yang dililitkan
melingkar, konon dulu patung itu bisa bergerak sendiri dengan menggunakan ilmu
ghaib. Banyak orang mulai berkumpul dan duduk di sebuah panggung kursi yang sederhana
kain berwarna kuning panjang mengelilingi tempat pertunjukan mulai
dikencangkan berharap tidak ada penonton di luar yang akan mengintip acara pertunjukan secara gratis. Bahkan penghalang ini terlalu rendah untukku yang dengan sangat mudah bisa menyaksikan pertunjukan itu dari tempatku
berdiri, yang telah menanti pertunjukan gratis ini setidaknya buat diriku
sendiri.
Patung
itu mulai bergerak menari-nari atau biasa disebut manotor seirama dengan lantunan music tradisional dengan
menggoyang-goyangkan tangannya yang tak jauh beda mirip dengan wayang golek, di
belakang patung beberapa kain ulos dan papan menjadi background pertunjukan, yang mungkin lebih tepatnya untuk sembunyi orang yang menggerak-gerakan patung
sigale-gale. Muncul dua bocah cilik dengan menggunakan ulos menari-nari
mengajak pengunjung ikut menari dan beberapa kali mengambil photo. Puas menari
beberapa lembar uang diberikan kepada bocah-bocah itu tak ketinggalan pula
patung sigale-gale juga kebagian jatah lembaran-lembaran rupiah yang diselipkan
di sela-sela jari patung, kurasa mereka benar-benar sangat royal
dibandingkan diriku yang hanya ingin serbagratisan.
Aku
mengajak mereka untuk berkeliling lagi mumpung masih di sini agar tahu lebih
banyak lagi budaya orang Batak Samosir. Thaufik mengajakku ke sebuah museum
yang bangunannya berbentuk rumah adat bolon yang terlihat apik dan terawat. “eh fik masuk bayar gak fik?” tanyaku, “gak tau mas!, coba tengok” beberapa
orang menaiki tangga dan masuk ke dalam museum itu kamipun mengikutinya, tidak ada tempat loket di sini sepertinya
emang gratis, ya emang gratislah. Rumah bolon memiliki pintu masuk yag unik, pintu
masuk tidak berada tepat di bagian depan bangunan melainkan menjorok kedalam
dengan pintu yang khas yang rendah sebagai simbol penghormatan para tamu kepada
si pemilik rumah (tetapi ada juga pintu yang berada tepat dibagian dinding paling
depan). Tangga untuk memasuki rumah bolon selalu dibuat ganjil karena pantang
bagi orang batak menggunakan anak tangga dengan bilangan genap, menurut
informasi yang ku dapat anak tangga yang berukuran genap merupakan rumah yang
dimiliki seorang mantan budak ataupun keturunannya mungkin semacam menjadi aib
bagi mereka atau sebuah pertanda mereka sebagai golongan yang rendah.
Di dalam
museum terdapat banyak benda bersejarah peninggalan suku Batak Toba dan raja
Tomok sebuah tempat tidur yang sudah berusia ratusan tahun berbagai macam
senjata, perhiasan dan alat-alat sihir. Segerombolan orang tiba myerbu museum
yang tidak seberapa luas ini menjadikan ruangan yang tadi longgar dengan mudah
berlalu lalang menjadi penuh riuh, seorang bapak-bapak dengan suara keras
menunjukkan satu persatu benda-benda apa saja dan kegunaannya dan juga menceritakan kepada mereka, Akupun ikut menjadi pendengarnya yang baik
sambil satu persatu ku perhatikan benda yang ia tunjukkan kepada kami. Sebuah
piring besar sebagai tempat makan raja yang konon kalau gak salah itu yang
menjadi asal muasal penamaan desa tomok karena raja yang tomok (makanannya
sangat banyak).
Puas
mendengarkan dan mengikuti pemandu kamipun keluar dari museum rumah bolon ini
berbarengan dengan para rombongan yang sejak tadi aku ikuti. Begitu keluar saya
terkejut mendapati pemandu tadi sedang bernegoisasi dengan para pembimbing
rombongan yang berdebat alot meminta bayaran dengan nilai yang cukup mahal
pula. Tak tinggal diam akupun langsung mengajak yang lainnya untuk segera kabur
takut dimintai juga sambil pura-pura tak tahu dan akhirnya terkekeh-kekeh saat
sampai kejauhan.
Jalan
kembali dipenuhi lapak-lapak yang menjual beraneka cinderamata dan suara
memekakkan telinga sekali terdengar dari teriakan para pedagang yang menawarkan
dagangannya. Akupun tak lebih hanya melihat-lihat kiri kanan mungkin ada
penjualnya yang ayu jelita hahahaaha. Ada banyak tempat yang belum kami kunjungi
di tomok ini, tadiku melihat makam yang dikeramatkan yang harus memakai
ulos untuk memasukinya dan juga masih banyak tempat lain lagi, tapi apa boleh
dikata kami harus segera kembali, dan ada titipan yang harus kuberikan segera di
Parapat.
Saat
pulang perahu terasa lebih longgar penumpang tidak sebanyak saat kami datang semalam (kata semalam biasa diartikan untuk kata kemarin di daerah Sumatera Utara). Sepanjang perjalanan hanya duduk
menikmati pemandangan dan hempasan angin yang bertiup kencang, pulau Samosir
yang mulai terlihat mengecil dari kejauhan menyisakan pemandangan yang berbukit
hijau kebiruan. Perahu mulai memelan mengatur posisi untuk bersandar para
penumpang juga tak maukalah segera ikut berhamburan menuju pintu keluar walaupun
perahu belum rapat bersandar di tepian. Ku hanya duduk memandangi keriuhan
mereka yang sudah tak lagi sabaran begitu perahu bersandar hingga tinggal
sedikit orang barulah ku mengikuti langkah mereka keluar. Tak berapa lama kreta
kami juga di turunkan oleh para anak buah kapal dan kembali melanjutkan
perjalanan. Melewati pajak (berarti pasar dalam bahasa setempat) terlihat
beberapa turis asing yang sedang
menunggu di ruang tunggu jasa travel, pajak ini cukup ramai riuh pikuk orang di
bawah teriknya matahari, dengan atap terpal berwarna biru dan jingga mendominasi.
Jalananpun macet dipenuhi angkot, kami meliuk di sela-sela kendaraan menembus
kemancetan. setiba di kota Parapat ku berpisah dengan mereka, sebuah buku menu
titipan dari boss tempatku bekerja harus diberikan ke sebuah restoran China.
Di sana ku menjumpai seorang aiai walau aku sendirinya memanggilnya dengan
sebutan cici, kuharap itu membuatnya senang karena terdengar ia menjadi lebih
muda. Ia mengeluh kepadaku pada menu yang baru kami buat (adahal yang unik saya menggunakan kata buat bukan bikin karena
kawan-kawan di sini bilang tidak lazim menggunakan kata bikin bahkan seorang teman mengatakan “apa itu bikin cok kau bilang”, kurasa ku tidak perlu menjelaskan perdebatan
kami ini) tidak memiliki bahasa mandarin di dalamnya, karena banyak turis
asing dari Tiongkok dan Hongkong kesulitan untuk memesan menu tanpa ada tulisan
mandarin. Ai ini memberikan menu lama yang masih memiliki tulisan mandarin di dalamnya
dan akupun segera berpamitan meninggalkan restoran.