Jelajah Pulau Samosir Part 1
![]() |
Pelabuhan Ajibata tampak lengang di hari minggu photo ini sebenarnya kuambil jauh setelah perjalananku ke Samosir karena ku tidak memiliki kamera untuk mendokumentasikannya. |
Berawal dari ajakan Si Thaufik untuk pergi berlibur kami memutuskan akan pergi ke pulau Samosir. Sudah cukup lama aku menginginkan hal ini terjadi.
Hari sabtu pagi kusudah bersiap dengan mengenakan baju adidas hitam kesukaanku yang sudah kumal dipadukan celana pendek kombor ala blantik penjual di pasar plus kepala berhiaskan topi kumal yang milik siapa di tinggalkan begitu saja di kosku, yang sekarang kupakai begitu saja. Si Thaufik yang menghampiriku justru sangat berbanding terbalik denganku dia berpakaian stedy layaknya ABG yang mau pergi ke mall.
Jam sudah menunjukkan Pukul 09.00 tapi kami belum juga berangkat menuju kota Parapat. Kita nunggu si Madan dulu fik ? iamas dia masih di jalan" jawab Thaufik singkat. Kamipun menuju perempatan Rambung Merah di mana bus dari medan yang dia naiki biasa berhenti menurunkan penumpang.
Matahari yang tadi masih seujung tiang sekarang sudah berada di atas kepala dengan panas yang mulai membakar kulit ku yang sudah hitam ini. Setelah berjam-jam kami menunggu dia akhirnya datang juga, tanpa buang waktu kamipun segera memutar arah dan tancap gas mengejar waktu yang sudah tidak kompromi lagi. Dengan kreta (sepeda motor) ku arungi jalan bergelombang yang bertaburkan lubang karena dalam proses perbaikan jalan.
Terlihat si Madan mengabadikan panorama di sekeliling danau Toba dengan ponselnya, yang terkadang membuatku iri karena hpku tidak bisa di gunakan untuk mengabadikan setiap moment yang ada huah..!!
Gapura besar yang menyambut kami merupakan pintu masuk kota Parapat. Ku hentikan kretaku (sepeda motor) di pinggir jalan bersamaan si Thaufik yang juga berhenti, "Kemana Kita? lansung nyebrangnya!? teriakku, kita cari makan dulu ya mass!! sahut Thaufik padaku. Kami berkelilling mencari kedai nasi karena permintaan manja si Madan yang hanya ingin makan rendang.
Mereka berdua justru menuju spot wisata di parapat dan sayapun hanya terpaku untuk mengikutinya. Kamipun hanya berkeliling dan sekali bertanya kepada penjual nasi, dan mereka tidak ada yang menjual rendang. Roda kreta kamipun kembali berputar hingga kembali ke tempat semula yang merupakan jantung kota Parapat. Roda kreta kami terhenti di sebuah warung nasi Minang dan memesan 3 bungkus nasi, bisa dibilang makanan di kota wisata seperti ini tidaklah murah harga pasti sekitar 2x lipat harga di Siantar bahkan si Thaufikpun mengeluh kepadaku mahalnya makanan disini saya hanya menanggapi dengan senyuman kecil dan kamipun melanjutkan perjalanan menuju pelabuhan Ajibata.
Sebuah tikungan yang cukup curam menyambut kami berhiaskan gapura bertuliskan selamat datang tanda kami sudah memasuki lokasi pelabuhan. Kreta kami bergerak meliuk-liuk diantara jalanan yang sudah rusak parah dipenuhi kubangan air yang berlumpur pekat sebagai sambutan pertama kami. Antrian mobil yang cukup panjang hingga memenuhi jalan sebagai pertanda hari libur ini akan cukup ramai di Samosir.
Pelabuhan Ajibata sendiri terbagi menjadi dua lokasi pelabuhan utama adalah pelabuhan yang dibuat untuk sandaran kapal ferry yang umumnya mengangkut kendaraan beroda empat ataupun kendaraan bermotor dan pelabuhan kedualah yang menjadi tujuan kami, pelabuhan kedua ini sangat sederhana sama sekali tidak terlihat sebagai sebuah pelabuhan hanya tempat yang dibuat sedikit lapang untuk kapal bersandar. Terlihat kerumunan orang yang sedang mengantri untuk menaiki kapal yang terbuat dari kayu mirip dengan kapal tongkang.
![]() |
Tampak beberapa kapal bersandar menunggu penumpang, waktuku pergi ke Samosir pelabuhan ini cukup ramai dan di penuhi para penumpang, photo iniku ambil jauh hari setelah perjalananku ke P. Samosir. |
Muatan kapal ini cukup banyak tidak hanya penumpang yang dijejalkan di kapal ini kreta kamipun didesakkan di dek paling bawah bersama banyak kreta penumpang lainnya. Kami duduk di dek paling atas di tempat yang terbuka tanpa atap menyajikan pemandangan yang luar biasa indah langit biru yang luas berhiaskan awan yang bergerak malas mengikuti arah angin dan terlihat jelas pulau Pamosir yang berbukit seperti berdiri gagah di tengah luasnya danau Toba yang seperti menantang kami untuk segera menjelajahinya. Dek kapal begitu ramai karena ini adalah musim liburan sekelompok ABG dengan gegap gempita menyanyikan lagu batak menambah euforia perjalananku ini.
![]() |
Suasana di kapal tampak padat dan penuh oleh turis lokal dan juga terlihat dua turis asal Prancis yang akan menggali panorama dan budaya di tanah lahirnya orang Batak Toba ini. |
Yang tak kalah menarik perhatianku adalah dua orang cewek bule dengan mengenakan baju yang terlihat cukup kumal, yang satu berpawakan tambun dan sedang menikmati setiap hisapan tembakau dan kawan sebelahnya yang lebih terlihat menarik berpawakan proporsional sibuk mengoleskan krim matahari dan sekali-kali mengambil foto dengan camera sakunya. Kata si Madin mereka berasal dari Prancis dan sedang melancong menuju Samosir, saya sebenarnya terkagum-kagum dengan mereka yang berpetualang keseluruh penjuru dunia dengan membawa ransel segede kulkas walaupun mereka seorang wanita.
Rumah penduduk yang awalnya terlihat samar sudah terlihat jelas kapalpun seperti mengambil posisi untuk bersiap bersandar. Para penumpang mulai sibuk dengan bawaan mereka masing-masing. Kakipun melangkah menuruni kapal dan inilah langkah pertamaku di pulau yang pernah aku bayangkan di buku bahasa indonesia saat aku masih duduk di bangku sekoah dasar.
Kami beristirahat di sebuah gubuk kecil di pinggiran danau Toba untuk makan siang, kubasuhkan kedua tangan ini di pinggiran danau yang sejuk airnya dikala teriknya mentari. Makanan ini terasa tambah nikmat dengan suguhan pemandangan danau Toba yang biru dikelilingi pegunungan hijau yang subur . Aku memperhatikan kedua orang bule tadi sedang tawar menawar kepada seorang sopir angkot, dan tidak berapa lama merekapun pergi bahkan semua orang juga telah pergi membuat dermaga ini kembali sepi.
Terdengar suara resleting, Thaufik mengeluarkan sebuah kotak toples kecil sambil tersenyum kepadaku. Sekotak telur puyuh rebus yang kemarin kami beli dari pajak (pasar). Dengan segera ku mengelupasi telur kecil ini hingga entah beberapa butir sudah kutelan sebagai makanan penutup siang ini.
Tak terasa terik matahari sudah terasa begitu terik memancarkan sinarnya tanda sudah tidak bersahabat lagi. Mesin kreta kami kembali berbunyi perjalanan akan berlanjut “ ke mana kita Fik??” tanyaku, “terserahlah Mas!”, “akukan gak tahu sini, kamukan yang sudah pernah kemari?” tanyaku balik. “Iya kalau kita ke kiri kita ke Tomok lihat patung sigale-gale kalau kita ke kanan kita ke Panguluran. Kurangnya persiapan membuat kami bingung menentukan destinasi berikut, tiba-tiba sebuah angkot merah melintas terlihat para wisatawan asing di dalam angkutan tersenyum menunjukkan giginya yang rapi, kamipun memutuskan mengikutinya.
Sebuah papan hijau menarik pandanganku terlihat dua buah gambar anak panah, anak panah yang lurus bertuliskan Panguluran dan yang ke arah kanan bertuliskan Tuk-tuk. Tak lama berselang jalan terbagi menjadi dua arah kami berhenti di sebelah kanan terlihat gapura yang membumbung tinggi berhiaskan ukiran-ukiran khas batak Toba yang identik dengan warna merah, hitam dan juga putih. Inilah sambutan pertama kali di Tuk-tuk jalan aspal yang bergeronjal tapi bukan sebuah hambatan bagi dua wisatawan asing yang sedang asik bersepeda dan sesekali berfoto narsis ria. Walaupun jalan kurang bersahabat tapi pemandangan di sekeliling sungguh indah di sebelah kiri bukit-bukit kecil yang berselimutkan hijaunya rerumputan tempat kerbau digembalakan lepas seolah tak bertuan. Tuk-tuk merupakan lokasi yang berada di daratan yang menjorok ke danau Toba dan merupakan destinasi paling banyak dituju oleh turis manca negara yang menghabiskan liburannya di P. Samosir.
Senyum lebar menjadi pertanda rasa semangatku untuk mengenal Tuk-tuk lebih dekat. Walaupun ketidak tahuan kami akan tujuan di Tuk-tuk, tetap membuat kami antusias untuk berkeliling, sesekali terlihat turis asing sliweran memakai kreta yang sepertinya banyak disewakan di daerah ini, oh ya sepedapun banyak juga sebagai alternatif lainnya. Di sini begitu banyak hotel dan penginapan bertebaran di sepanjang jalan yang kami lalui. Sambil berkeliling kami berusaha mencari penginapan murah di sini. Begitu banyak hotel membuat kami bingung harus memilih yang mana.
Kami berhenti di sebuah salah satu hotel “kau tanyalah Mas” suruh Thaufik padaku, “Kau ajalah Fik”!? sahutku balik. Dengan sedikit memelas Thaufik memintaku lagi, dari pada ribut akupun pergi, aku bingung dimana bagian resepsionisnya ku hampiri seorang abang-abang yang sedang bersih-bersih di depan teras kamar hotel. Dari informasi abang ini bahwa harga kamar paling murah adalah 110 ribu/malam tapi sayangnya semua udah full dibooking karena akan diadakan gathering oleh sebuah perusahaan.“Cemana Mas?” tanya Thaufik padaku, “full fik semuanya harganya aja permalam 110 ribu” dari wajahnya terlihat kecewa kamipun mencari penginapan lainnya yang terletak langsung menghadap danau Toba.
Kami berbelok menuruni jalan yang agak tajam, kulihat seorang ibu-ibu sedang duduk-duduk di depan pintu akupun menghampirinya, Bu apakah tempat sebelah ini penginapan? “ Entah dek tak tahu saya tapi kayaknya banyak orang kesitu” jawab ibu itu dengan wajah bingung tak jauh beda denganku, ibu ini begitu dekat tapi tidak tahu apa dia bukan orang sini gumanku dalam hati.
Terlihat dua orang pasangan turis asing, yang cewek berkulit hitam menampilkan kakinya yang jenjang dan yang satunya cowok bule berkulit putih berbadan tegap tinggi sedang berjalan menuju kearah kami membuat kami semakin yakin bahwa tempat itu adalah sebuah penginapan.
Begitu tiba di depan penginapan suasana tampak sepi hanya terlihat sebuah mobil dan beberapa kreta yang terparkir di depan penginapan, kami hanya bengong memandang setiap ornamen-oranamen khas Batak Toba yang didominasi warna hitam, merah dan putih berpadu indah menghiasi kamar-kamar hotel dan beberapa bungalow yang terletak seperti disebuah perbukitan kecil dengan jalan setapak yang membuat kami semakin takjub dengan keunikan di tanah Toba ini.
Sambil mengelus dada karena kesal lagi-lagi mereka memintaku untuk menanyakan harga penginapan, ku berjalan menuju resepsionis hotel yang entah tersembunyi dimana. Terlihat abang-abang dengan memakai baju biru langsung aja aku samperin,”misi Bang bagian resepsionisnya di mana yaa??” “oh itu bang sebelah kiri” sambil menunjukkan tangannya “Ok terimakasih ya bang!”.
“Selamat siang ada yang bisa dibantu” salam ramah bagian resepsionis padaku. “Penginapan yang paling murah berapa ya Kak?” tanyaku, “yang paling murah 95.000/malam tapi sudah full yang ada tinggal permalam Rp. 250.000/malam. Dengan wajah kecewa ku berjalan meninggalkan ruangan resepsionis. Begitu ku menuju ke luar penginapan ku tercengang si Thufik & Madan malah berfoto narsis ria di depan salah satu kamar hotel yang di penuhi ornamen khas batak Toba, “dasar tak tahu malu umpatku kesal di dalam hati.”
Ku menuju salah satu bagian hotel yang langsung menghadap danau Toba dengan suasana yang asri dan nyaman. Dan lagi-lagi sepasang turis asing yang kali ini sudah cukup tua menampilkan uban putih yang mendominasi mahkota kepala keluar dari kamar hotel sambil menyeret koper sepertinya mereka akan cek out dengan membawa cerita menuju negara asal mereka akan eloknya pulau di tengah lautan air tawar di Sumatera Utara.
Hotel di Samosir yang bernuansakan ornamen khas Batak yang di dominasi oleh warna merah, putih dan hitam, photo ini diambil dari camera handphone kawanku.
|
“Bagaimana mas”!? “semua udah full fik”. Hal ini membuat kami bertambah lesu ku meminta untuk melanjutkan perjalanan ke pusat kota Samosir yaitu kota Panguluran.
bersambung...
bersambung...
0 komentar:
Post a Comment