Kampung Nelayan Tanjung Tiram

Rumah-rumah papan berpanggung menghiasi pinggiran pantai yang selaras dengan air lautnya yang berwarna kecoklatan.

Menyelusuri jalan kecil dengan disuguhkan kerindangan pohon kiri kanan dan juga rumah penduduk yang silih berganti akhirnya kami sudah tiba di pelabuhan tanjung tiram pelabuhan

ini tidak terlalu ramai. sebelum sampai ke gerbang masuk sebelah kiriku terdapat pasar ikan, tapi pasar masih sepi karena biasa nelayan akan menjual hasil tangkapannya di sore hari.
Disinilah saya pernah mampir untuk pertamakalinya datang untuk membeli sejenis udang-udangan orang sana membilangnya udang ketak yang bentuknya menurutku sangat aneh tapi rasanya cukup enak lhooo.., cuman sayang udang ini akan cepat busuk kalau kita tidak menggunakan es untuk menyimpannya dan baunya hmmmm minta ampun bangett....


Oke udah cukup nustalgianya, sekarang waktunya lihat nelayan di tanjung tiram. dan langsungku parkirkan kretaku, tapi jangan salah ini bukan kreta api ataupun kreta kuda wkwkwkwkwk!!! orang sumut biasa membilangkan sepeda motor itu dengan sebuatan kreta, jujur gua protes banget pada waktuku masih pertama kali datang di sumatera ini hahahaha. Dermaga ini bukan dermaga besar melainkan dermaga kecil untuk para nelayan. Kulihat orang memancing dan nelayan yang silih berganti melewati pelabuhan ini. Laut di sini sangatlah keruh berwarna coklat selaras juga dengan rumah penduduk yang terbuat dari kayu papn dengan tiang pancang di atas laut membuat pemandangan menjadi terlihat lebih kelam. Sebagian besar masyarakat di sini adalah nelayan, mereka mencari ikan di laut yang langsung menghadap selat malaka dan konon katanya dulu orang dari negeri seberang sana maupun orang penduduk sini bisa bebas berkunjung untuk melakukan perdagangan.

Para nelayan silih berganti melewati pelabuhan, dan beberapa membawa hasil tangkapan mereka untuk langsung dijual

Seorang anak melihat wajah asing yang telah mengambil fotonya dengan pandangan curiga!!!?

Abang pesisir yang dengan uletnya menawari kami untuk berkeliling dengan sampan kecilnya.

Saat saya sibuk jepret - jepret ada seorang abang-abang yang menawari kami untuk melihat mercusuar di seberang sana. Pertama-tama ku tak terlalu menghiraukannya tapi Thaufik memintaku untuk menerima tawaran abang ini saya bilang nanti aja abis sholat dzuhur. Abang itu tidak mau juga pergi tapi terus membujuk kami untuk keliling dengan prahunya dengan membayar masing-masing orang Rp. 15.000, emang murah sih, dan sebenarnya dalam hatiku pengen juga sih cuman bagiku waktunya terasa nanggung karena udah hampir menjelang dzuhur.

"Ayoolah mas, ayoolah mass "sikawan membujukku terus terusan, "hmm okalah lok gitu kita kesana" senyum lebarpun langsung tersirat di wajahnya dan yang lebih parahnya kameraku langsung dimintanya untuk jepret-jepret. Kamipun langsung naik perahu abang pesisir ini tanpa banyak celoteh lagi dan ku minta lagi kamera dari kawanku dan mulai jepret setiap objek yang kulihat. Ibu jaripun di acungkan oleh para nelayan yang ku ambil fotonya dan inilah perasaan pertamaku betapa indahnya mata lensa ini memberikan sesuatu yang gak pernah aku dapet yaitu keakraban dan jempol para nelayan melayu pesisir.....

Thaufik dengan ekspresi  fly dan juga stylenya yang mencolok, saya selalu ingin ketawa dengan sarung tangan yang ia kenakan karena lebih cocok untuk bekerja dari pada untuk bergaya.
Dengan santainya abang ini mengemudikan sampannya walaupun sebenernya ku cukup was-was karena perahu ini sungguh tidak stabil karena ombak air laut, gue sih gak papa kalau sampek terbalik tapi kamera ini yang kupikirin hehehehe.

Share this:

CONVERSATION

0 komentar:

Post a Comment